Refleksi atas aktualisasi nilai Hijrah Rasulullah Muhammad SAW. (01 Muharram 1442 Hijriah)
Penanggalan yang bermula dari peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw. Di sebut dengan tarikh hijriy atau kalender Hijriyah di era milenium ke tiga yang di anggap sebagai abad kebangkitan ummat Islam. Para penulis sejarah sepakat bahwa peristiwa satu muharram sebagai awal tahun hijriy di ambil dari hijrah nabi yang mengundurkan waktunya sekitar dua bulan, sehingga Satu muharram jatuh pada hari Jum'at 16 tammuz 933 seleucis (16 Juli 622). Peristiwa Hijriyah Merupakan sebuah momen yang patut dan wajib untuk di pertahan-kan karena dua hal 1. Untuk tetap menjaga seluruh kepribadian ilmu pengetahuan ummat islam mulai dari terkecil sampai yang terbesar dari yang tertulis dan di kodifikasiakan sesuai tarikh hijriy yang terkecil seperti kehidupan Rasulullah, perjalanan, jihad, qital, dakwah dan kehidupan besar misal ; kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dan berbagai pertempuran penting Islam bahkan kitab-kitab biorgrafi dan historis, percantuman tahun terbit kitab islamologi klasik dan modern.
Kedua, keterkaitanya yang kuat dengan berbagai masalah Diniyyah dan ahlam Syar'iyyah yang bersifat holistis. Mulai dari bulan haram, dan bulan haji. Shayr al-shiyam, masa Iddah bagi wanita dalam fiqih, sumpah nazar, kafarah, haul-nya zakat, puasa hari raya, puasa puasa Sunnah (awal-akhir tahun hijriy, ashyura dll).
Tarikh adalah sebuah simbol titik awal dalam kehidupan sebuah ummat atau suatu bangsa, para ahli sejarah telah menyebutkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab adalah orang pertama yang mencanangkan tarikh Hijriyah 17 tahun setelah Hijrah nabi yang kemudian mengarahkan pada konsep Hijriyah sebagai pemisah sesuatu Haq yang Bathil.
Hijrah nabi yang kemudian di jadikan momentum oleh ummat Islam merupakan zaman untuk mempertahankan iman dan memikul amanat. Hijrah nabi yang pada hakekatnya berintikan pada prinsip tauhid dan fitrah kemanusiaan, menunjung tinggi nilai humanisme terutama pada sektor kebenaran, keadilan dan moralitas kejujuran. Meskipun dalam gerakan reformasi kesatuan yang di gerakkan oleh Rasulullah banyak mendapat penolakan dari kekuasaan politik, struktur sosial dan sistem ekonomi.
Pertama, kekuasaan politik oligarki yang absolut yang hanya di kuasai oleh golongan yang kuat saja. Dan ini harus di rombak karena bertentangan dengan prinsip keadilan, kebetulan pada waktu itu di dominasi oleh kelompok kaum Quraisy, masyarakat dan keluarga nabi sendiri. Maka dalam dakwah di kenal dengan prinsip qu anfuusakum waahlikum naara ; mereformasi dari diri pribadi, keluarga baru pada skala yang lebih luas.
Kedua, struktur sosial yang menciptakan kelas-kelas dan struktur sosial harus di hilangkan, nilai kemanusiaan yang di ukur dari segi kualitas kemanusiaan dan tingkat ketaqwaan.sehingga para sahabat nabi pun sangat pluralis. Sehingga segi kemasyarakat menjadi heterogen pluralis serta inklusif.
Ketiga, sistem ekonomi yang harus menghapus pemerasan kepada kaum lemah dan praktek riba yang merajalela, bahkan Abbas sendiri sahabat nabi dulunya adalah seorang periba besar. Ketiga sistem itulah yang selalu aktual dalam sistem sejarah peringatan tahun baru hijrah, yang ketiganya perlu selalu menuntut reformasi dan dakwah amar ma'ruf nahi mungkar.
Nabi hijrah untuk kemudian melawan segala bentuk kebathilan, termasuk terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan nabi juga mengajarkan pola kepemimpinan yang menyelamatkan terlebih dahulu pengikut dan rakyatnya, baru kemudian beliau dan penggantinya kelak, abu bakar menyelamatkan diri setelah ummatnya. Di sinilah tanda kerajaan rohani ummat manusia yamg berpegang pada moral islam, yang berarti bersandar pada moralitas kemanusiaan universal.
Nabi telah melahirkan persaudaraan atas dasar persamaan (equality/al-musawwa). Antara kaum Muhajirin dan Anshar telah tertanam moral altruisme dan percaya diri tanpa ketergantungan dengan pihak luar atau asing bahkan yang berbeda keyakinan di buatlah perjanjian tersendiri bersaudara atas nama kemanusiaan dalam bentuk Piagam Madinah. Meskipun hari ini di Indonesia hari kita kerap kali diperhadapkan pada iklim politik, sense of glory, sense of morality, sense of religiusity. Dengan nilai agama yang begitu kuat kita sering kali di benturkan oleh berbagai kepentingan akibatnya saling menghujat, bermusuhan hingga saling membunuh dengan kalimat jihad agama sementara yang di perangi juga menyatakan jihad fi sabilillah. Sementara Rasulullah mengatakan bahwa apabila ada ummat muslim salib membunuh tempatnya adalah neraka, dan ketika ada yang saling berbunuhan demi membela golongan/partainya (ashabiyyaj/syu'ubiyyaj), maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.
Kita yang begitu bangga menjadi mahluk dunia modern sementara kita kehilangan visi kemanusiaan oleh isu kemodernan di tiupkan oleh peradaban lain yang begitu agnostik bahkan cenderung ateis memakai baju isme baru dalam kebudayaan eropa-centris--modern walaupun dalam beberapah hal lain ada yang positif.
Keprihatinan kita atas pentingnya kemudian mempertahankan sejarah tahun hijriyah.
Di waktu yang bersamaan keprihatinan terhadap pudarnya nilai-nilai atas kegiatan keagamaan, visi sosial dan semangat mencari ilmu agama serta semakin jauhnya dari sistem politik sosial yang islamis, kapan ini kembali ? Jika nilai hijrah menyangkut kehancuran moralitas yang juga mengisyaratkan konsepsi hijrah politik atas nilai-nilai kemanusiaan. Apakah yang ini yang kita andalkan sebagai momentum cita-cita kebangkitan Islam di milenium ke tiga ? Tugas kita hari ini adalah aktualisasi mobilitas yang tinggi dalam meretas sekat yang menghalangi kebangkitan yang berbingkai realisasi moralitas, perwujudan keadilan sosial dan rekonsiliasi ummat, dan juga alasan keagamaan yang di simbolisasi kan, dipolitisir, disalahartikan sehingga di redusir untuk membela kepentingan kelompok dan partai tertentu; bukan demi agama itu sendiri. Itu hak pokok yang kemudian harus direformasi dalam menghadapi era milenium ke tiga.
insyaAllah.
Wallahu a'lam bishawab.
Sumber; Sejarah makna dan amaliyah (KH.muhammad sholikhin)
Komentar
Posting Komentar