Sophrosyne Covid-19
Sejak di tetapkanya Indonesia positif terpapar Corona Virus Disease (Covid-19), sebuah wabah yang dalam pernyataan World Health Organization (WHO) menjadikan Covid-19 sebagai pandemi mematikan dengan Mortality Ratio (Rasio Kematian) sebanyak 3% dan terus bertambah, yang kemudian penyebarannya meng-infeksi 209 negara. Lantas apakah dunia menjadikan ini sebagai moment terburuk sepanjang populasi manusia, atau karena kepanikan dan ketakutan kita lah yang menciptakan itu ? Ketika penyebarannya bermula saya ragu melihat kekuatan Covid-19 sebagai kondisi paling panik sepanjang sejarah peradaban ilmu pengetahuan, lembaran cerita populasi virus dengan virulensi mematikan yang sebenarnya tiap waktu mengintai populasi manusia, masih ingat Sars-Cov (asociated Coronavirus), Mers-Cov (asociated Coronavirus), Ebola, smallfox, sampai HIV yang ke semuanya terdaftar sebagai virus yang paling mematikan.
Bahkan manusia pra-Covid-19 sudah senantiasa berada dalam ketakutan hingga kepanikan tentang banyak hal, yah mungkin kematian adalah salah satunya. Lantas seperti apa budaya masyarakat Indonesia menangani Covid-19 ini ? Tentunya kita tidak harus menyerahkan kematian sepenuhnya secara Jabariyah (hak tuhan semata), namun juga kita tidak ingin terlalu angkuh dengan anggapan bahwa peradaban dunia mampu mengatasi masalah yang di hadapinya (Qadariyah).
Hari ini kita bisa melihat beberapa manusia masih enjoy dengan komputer kantornya namun juga di waktu yang sama ada yang di PHK dari perusahaan dan tak mendapat kerja untuk nafkah anak istrinya. Ada yang tersenyum mendapat penanganan listrik gratis di sisi lain masih ada yang asik dengan lentera (pelita) di serambi rumahnya, ada yang berhasil di luluskan tanpa UN di waktu yang bersamaan ada pula yang kebingungan mencari pembayaran untuk kelanjutan pendidikan anaknya, ada yang mapan dengan pendapatan ekonominya namun di waktu yang bersamaan ada juga yang tiap hari harus bekerja demi makanan di hari esoknya, ada yang bisa kuliah daring melalui Android bahkan Apple di waktu yng bersamaan ada yang masih gagap dalam penggunaan Gmail dan situs net lainnya, Selalu ada sisi gelap di balik sikap aman dan enjoy.
Dengan jumlah kasus yang semakin mewabah dan jumlah kematian yang terus bertambah. Sepertinya tidak ada ruang untuk sekedar merasa paling amam pada kondisi yang telah terjadi, hingganya selain menyiapkan imunitas tubuh untuk menghadapi pandemi ini kita pun sebaiknya memperkuat imunitas pengetahuan guna menangani kepanikan global yang sekedar data informasi dan potensi yang di ramalkan oleh masyarakat media. Ini bukan yang pertama kali terjadi di dunia, kita bisa membaca kembali sejarah di tahun 1330 dengan meletupnya wabah Virus yersinia pestis yang membuat Florensia kehilangan 50.000 dari 100.000 penduduknya, bagaimana smallpox (virus cacar) menghabiskan sepertiga penduduk dari ibu kota Aztec dengan penduduk 250.000 jiwa, dan juga Meksiko yang pernah terserang gelombang maut flu, virus dan penyakit menular yang mematikan penduduknya yang berada pada puncaknya di tahun 1580 dari 22 juta jiwa penduduk tersisa tak sampai satu juta penduduk.
Yang kita alami hari ini adalah konspirasi, namun bukan konspirasi ala Flat Earth ataupun konflik Eko-pol amerika-china juga bukan senjata biologis yang sengaja di ciptakan suatu negara, sebut saja konspirasi pandemi ala wuhan, dari setiap peristiwa kemanusiaan sudah sangat pantas peradaban semakin di sehatkan setiap kejadian yang memilukan, bukankah mental kita di kuatkan akibat kondisi itu ? lalu apa yang akan kita lakukan agar tidak kehilangan keseimbangan dalam menghadapi kondisi krisis ini ?
Apakah hanya karena keterlambatan mengantisipasi di awal penyebaran hingga kasus ini semakin bertambah, yah dulu, kita bisa lihat bagaimana Hawai sebagai masyarakat ter-isolasi menjadi satu-satunya wilayah yang tidak tersentuh penyakit di tengah-tengah mewabahnya virus dan penyakit menular di Eropa dan amerika, namun dengan kedatangan penjelajah Inggris kapten James cook di tahun 1778 yang kemudian memperkenalkan penyakit tuberklosis dan sipilis. Kemudian di lanjutkan dengan kedatangan Eropa dengan membawa virus dan penyakit menular hingga menyisahkan 70.000 dari 100.000 penduduk Hawai. Meskipun Indonesia berada di peringkat ke 111 dalam perkembangan teknologi dan informasi (katadata.co.id) setidaknya rakyat tidak pernah kehilangan pemimpin negaranya.
Populasi manusia selalu di perhadapkan dengan kondisi menyedihkan, yang pernah di tinggal mungkin sama sedihnya tapi ini bukan patah hati., Melainkan patah kepercayaan hingga membuat masyarakat semakin kehilangan arah pandang terhadap pemimpinnya. Negara hebat mana yang mampu menjawab tantangan internasional dari Covid-19 ?, salah satu bentuk virulensi mematikan. Bahkan negara adidaya Amerika kalah dengan jumlah kematian 6.095 kasus, hingga "negeri pizza" italia dengan fasilitas kesehatan yang lebih mumpuni juga menuai jumlah kematian tertinggi sejumlah 13.915 penduduk hanya karena keterlambatan respon dari pemerintah di negaranya, dengan total kematian di seluruh dunia sejumlah 64.771.000 penduduk, virus ini tidak lebih mengerikan dari kawan-kawannya yang lain ? Namun sejauh sejarah peradaban manusia hanya virus ini yang dalam kurun waktu 4-5 bulan mampu meng-ekspansi penyebarannya di-209 negara, menyentuh 1,2 juta masyarakat dunia hingga membuat kepanikan di mata kesehatan, ketahanan negara dan ekonomi dunia. bahkan bisa mengunci pintu gerbang Mesjidil haram, Jerussalem dan Vatican selama beberapa hari dan membatalkan seluruh agenda ummat manusia menuju satu agenda terlirik sebut saja proyek kemanusiaan sebuah risalah yang jauh lebih optimistis di banding perang negara.
Secara penyikapan semua kita tentunya ingin menghadirkan kondisi nilai paling solutif yang harus segera di teteskan ke pemerintah sebagai upaya kolektif warga Indonesia agar segera menyembuhkan atau setidak-tidaknya berupaya mengatasi situasi ini. Hingganya kita bersepakat bahwa harus ada sinergi komprehensif yang seimbang sebuah teks yang di wariskan Socrates tentang sophrosyne sebagai metode dalam menangani keangkuhan manusia, Socrates secara konsep rasionalitas telah bersepakat dengan hadist Rasulullah Muhammad Saw, sikap sophrosyne yang selalu di identikan dengan kejujuran atas apa yang mampu di lakukan, apa yang tidak mampu di lakukan dan apa yang harus di lakukan sebagai wewenangnya juga dapat di artikan sebagai gema akal atau gema sanubari menuju sebuah keseimbangan cara berfikir dan bertindak. Setelah uraian di atas Covid-19 bukanlah masalah paling besar tetapi cara kita menyikapi kondisi ini lah yang tiap hari semakin melemah, yah keangkuhan dan ketidakpercayaan sesama membunuh yang lainnya bahkan lebih banyak dari yang Covid-19 bisa lakukan. Kita bisa melihat bagaimana negeri pizza mengorbankan rakyatnya hingga ribuan jiwa karena keterlambatan mengantisipasi demikian juga dengan Amerika yang kewalahan karena membludaknya pasien yang terus bertambah mengisi ruang sakit di wilayahnya.
Yang kita butuhkan adalah sebuah kehadiran pemimpin di tengah-tengah kondisi masyarakat, kebijakan harus menyentuh keseluruhan, konsep horizontal kemanusiaan harus lebih peka terhadap lingkungannya, Sebab yang rakyat Indonesia takutkan hari ini bukanlah kematian akibat virulensi Covid-19, lebih dari itu adalah ketika pemimpin dan orang-orang di sekitarnya, tidak lagi melirik sesamanya sebagai kekuatan yang akan terus hidup, karena kondisi ini kita tidak pernah benar-benar tau siapa yang mengambil posisi aman di dalam ruangan dan siapa yang akan di buatkan lahan untuk galian kuburan. Sehingga ketegasan dan kinerja komprehensif pemerintah untuk memperbaiki ketidakseimbangan aturan dan kondisi yang di hadapi sangat memberikan sumbangsi penting bagi kerjasama pemimpin dan rakyatnya.
Komentar
Posting Komentar